Gepeng
(gelandangan dan pengemis) merupakan salah satu permasalahan sosial serius yang
dihadapi pemerintah kota Denpasar. Penanganan masalah
pergepengan dengan pendekatan konvensional, yaitu menangkap dan memulangkan,
sudah terbukti sangat tidak efektif. Penanganan yang
lebih komprehensif sangat diperlukan, dengan mengkaji akar masalah serta
berbagai faktor pendorong dan/ atau pendukung terjadinya perilaku menggepeng.
Bertitik tolak
dari hal tersebut maka menarik untuk dilakukan suatu pelatihan
ketrampilan yang berbasis kebudayaan Bali seperti tari-tarian Bali, lagu daerah
Bali, dan drama yang berbasis kebudayaan Bali. Dimana setelah para gepeng
menguasai ketrampilan-ketrampilan tersebut maka akan dipertunjukkan melalui
sebuah Konser Mini Berbasis Budaya Bali untuk Gepeng (gelandangan dan pengemis)
Kota Denpasar. Program ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan gepeng di
kota Denpasar, sekaligus ntuk meningkatkan keahlian gepeng yang berbasis
kebudayaan Bali. Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah
untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan masyarakat tentang
solusi penanganan gepeng yang lebih efektif, untuk meningkatkan kepedulian
masyarakat khususnya masyarakat untuk ikut berperan aktif bersama pemerintah
dalam mengatasi permasalahan gepeng yang cukup mengkhawatirkan di kota Denpasar.
Metode yang diterapkan dalam
penyusunan tulisan ini adalah metode kajian pustaka yang dilakukan dengan
mengumpulkan sumber-sumber tertulis dari literatur, media cetak maupun media
internet yang relevan yang dapat memberikan informasi dalam pembuatan tulisan
ini, dan metode observasi dilakukan dengan melihat dan mengamati secara
langsung potret kehidupan para Gepeng yang ada di kota Denpasar.
Bertitik tolak
dari hal tersebut, yaitu pendidikan dan pelatihan maka solusi yang dapat
dikembangkan adalah dengan pemberian pelatihan ketrampilan yang berbasis kebudayaan
Bali seperti tari-tarian Bali, lagu daerah Bali, dan drama yang berbasis
kebudayaan Bali. Dimana setelah para gepeng menguasai ketrampilan-ketrampilan
tersebut maka akan dipertunjukkan melalui sebuah Konser Mini Berbasis Budaya
Bali untuk Gepeng (gelandangan dan pengemis) Kota Denpasar. Kemudian konsep
dari Konser Mini Berbasis Budaya Bali diadakan di tempat strategis yang mudah
dilihat sehingga menarik perhatian masyarakat sekitar. Konser Mini ini
menampilkan gabungan antara seni tari Bali, lagu-lagu daerah Bali, serta drama
musikal Bali yang dikemas secara kreatif, inovatif, dan modern. Dengan
diadakannya Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali dapat menggali
potensi para gepeng yang selama ini kurang dikembangkan, sehingga para gepeng dapat membuat lapangan pekerjaan
sendiri dan tidak hanya menunggu belas kasihan dari orang lain. Dengan demikian
maka permasalahan gepeng di kota Denpasar dapat teratasi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah
Gepeng (gelandangan dan pengemis) merupakan
salah satu permasalahan sosial serius yang dihadapi pemerintah kota Denpasar. Hampir
di berbagai sudut kota Denpasar dapat kita jumpai keberadaan para gepeng.
Gepeng seolah menjadi simbol keberadaan masyarakat kelas bawah yang
terpinggirkan sebagai konsekuensi dari ketidakmampuan menghadapi persaingan
hidup yang keras. Sebagian besar faktor penentuan keputusan para gepeng tersebut untuk bekerja
sebagai gepeng biasanya karena faktor ekonomi. Dan pada umumnya, latar belakang ekonomi
tersebut berimplikasi terhadap standar kehidupan mereka. Tingginya aktivitas
menggepeng dikarenakan para gepeng menganggap aktivitas tersebut adalah sebuah
pekerjaan. Kemudian dikarenakan minimnya keterampilan serta pendidikan yang
dimiliki. Maraknya aktivitas menggepeng yang dapat dilihat di seputaran kota
Denpasar pada tahun-tahun terakhir ini menjadi fenomena yang menarik ditengah
eksistensi Bali sebagai daerah pariwisata yang bertumpu pada pariwisata budaya.
Hal ini karena kota Denpasar merupakan ibukota propinsi Bali yang merupakan
pusat utama segala kegiatan dan aktivitas pemerintahan. Pemerintah kota telah
melakukan berbagai upaya untuk memberantas atau menghilangkan praktek-praktek
menggepeng di kota Denpasar. Tetapi masih saja ada kita temui gepeng-gepeng di
kota berwawasan budaya ini.
Dari data
Dinas Sosial Kota Denpasar memang kebanyakan gepeng-gepeng tersebut kebanyakan
berasal dari Munti Gunung, Pedahan, Singaraja, dan Trunyan.
Dan sisanya dari luar Bali seperti dari Lumajang, Situbondo, Banyuwangi,
Lombok, Madura, Malang, dan Kediri. Berkaca dari data ini dapat dikatakan bahwa
fenomena pergepengan ini terkait erat dengan kesenjangan pembangunan antara
desa dengan kota. Kesenjangan pembangunan yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang pesat di kota dan
keterbelakangan ekonomi daerah pedesaan, membuat kota menjadi magnet yang begitu
menarik bagi kaum papa di pedesaan.
Dari berbagai studi diketahui bahwa faktor
penyebab orang menggepeng sangat kopmpleks, dan antara faktor yang satu
mempunyai keterkaitan erat dengan faktor lainnya. Hampir semua kajian tersebut menyimpulkan bahwa memang faktor utama
penyebab munculnya gepeng adalah ekonomi, tetapi kemiskinan bukanlah
satu-satunya faktor. Ada faktor lain yang bersifat kultural (tradisi dan
kepercayaan), ada yang bersifat sosial (seperti misalnya ajakan teman/ tetangga),
dan faktor ignorance (ketidaktahuan bahwa perilaku tersebut
tidak benar). Faktor pendorong yang sering teridentifikasi
adalah adanya keterpaksaan, atau pemaksaan dari orang yang mempunyai power
terhadap gepeng itu sendiri. Faktor sosial-budaya dan psikologis masyarakat, khususnya
permissiveness terhadap perilaku menggepeng , juga merupakan faktor pendukung yang penting. Karena secara sosial mengemis ''dibenarkan'' atau minimal tidak
disalahkan, maka aktivitas mengemis dianggap aktivitas yang biasa-biasa saja di
beberapa desa.
Penanganan masalah pergepengan
dengan pendekatan konvensional, yaitu menangkap dan memulangkan, sudah terbukti
sangat tidak efektif. Pendekatan ini hanya menghilangkan
gejala sesaat, seperti memberikan obat sakit kepala, yang hanya menghilangkan
rasa sakit sesaat, tetapi tidak menangani penyakitnya. Penanganan yang lebih komprehensif sangat diperlukan, dengan
mengkaji akar masalah serta berbagai faktor pendorong dan pendukung terjadinya
perilaku menggepeng. Sebagaimana disebutkan di atas, faktor makro yang
sangat menentukan gejala mengemis ke kota adalah
kesenjangan pembangunan antara desa dan kota. Selanjutnya, faktor pendidikan
juga memegang peranan yang sangat penting. Bukan saja
pengemis yang harus dididik dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan untuk hidup di luar dunia pergepengan. Masyarakat umum yang menjadi sumber penghasilan bagi pengemis juga
harus diberikan pendidikan atau penyadaran. Konsep
belas kasihan ataupun menawa-seva
jangan diartikan secara sempit, yaitu memberikan sedekah kepada kaum papa yang
mengemis di jalan-jalan. Dalam konteks ini, masyarakat harus diberikan
kesadaran untuk berdana-punia secara terorganisasi, melalui badan atau lembaga yang bisa
membantu mengeluarkan para pengemis dari kehidupan mengemis, serta mencegah
munculnya pengemis-pengemis baru.
Dengan menyadari
bahwa faktor makro penyebab kegiatan penggepengan adalah kesenjangan pembangunan antara desa dan kota dan juga faktor pendidikan, maka pembangunan
pedesaan dan pendidikan di desa, merupakan salah satu jawaban dalam menangani
masalah pergepengan. Bertitik tolak dari hal tersebut maka menarik untuk
dilakukan suatu pelatihan ketrampilan yang berbasis kebudayaan Bali
seperti tari-tarian Bali, lagu daerah Bali, dan drama yang berbasis kebudayaan
Bali. Dimana setelah para gepeng menguasai ketrampilan-ketrampilan tersebut
maka akan dipertunjukkan melalui sebuah Konser Mini Berbasis Budaya Bali untuk
Gepeng (gelandangan dan pengemis) Kota Denpasar. Dengan diadakannya program
Konser Mini ini diharapkan gepeng tidak hanya meminta belas kasihan dan bekerja
sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan yang mereka miliki.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
diatas maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah apakah dengan
diadakannya pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali untuk Gepeng
(gelandangan dan pengemis) Kota Denpasar dapat mengurangi keberadaan gepeng
liar yang tidak memiliki ketrampilan?
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengatasi permasalahan gepeng di kota
Denpasar dengan diadakannya pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya
Bali untuk Gepeng (gelandangan dan pengemis) Kota Denpasar, sekaligus untuk
meningkatkan ketrampilan gepeng yang berbasis kebudayaan Bali
Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah untuk
memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan masyarakat tentang solusi
penanganan gepeng yang
lebih efektif dibandingkan dengan penanganan yang selama ini hanya menangkap
dan memulangkan yang cenderung bersifat sementara, untuk meningkatkan
kepedulian masyarakat khususnya masyarakat untuk ikut berperan aktif bersama
pemerintah dalam mengatasi permasalahan gepeng yang cukup mengkhawatirkan di
kota Denpasar, dan tulisan ini diharapkan akan dapat memberikan masukan kepada
para akademisi dan peneliti untuk lebih aktif melakukan penelitian-penelitian
masalah sosial kemasyarakatan sehingga di masa datang diharapkan diperoleh
solusi yang lebih efektif dalam mengatasi masalah gepeng dan kemiskinan di kota
Denpasar dan kabupaten lainnya di provinsi Bali.
TELAAH PUSTAKA
Gambaran Umum Kemiskinan di Propinsi Bali
Potret
wisata Bali terutama di daerah Badung dan sebagian Kota Denpasar, seakan
mengisahkan Bali bebas dari kontaminasi virus
kemiskinan. Sungguh, Bali dari tampilan wajah
pariwisatanya, seakan meyakinkan pengunjung bahwa provinsi ini tidak lagi
tersentuh kemiskinan. Benarkah sebuah kesimpulan yang hanya berdasarkan
kesaksian empiris seperti itu? Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering
dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan
hidup yang menggambarkan kekurangan materi (Said Rusli, 1995).
Dari hasil survei yang dilakukan,
dapat diketahui bahwa dari 413 responden yang meliputi 67 desa/ kampung di
seluruh Bali, diketahui bahwa sebagian besar bermatapencaharian sebagai buruh/ tukang
(29,5%), pedagang (21,1%), dan petani (16,5%) dengan penghasilan rata-rata
kurang dari 200 ribu/ bulan (52,5%) dan sebagian besar memiliki hutang (77,5%).Data
Badan Pusat Statistik (BPS) 2006 tentang angka kemiskinan di Bali menunjukkan
masih cukup tinggi jumlah keluarga miskin di Bali yaitu 147.044 kepala keluarga
(KK). Jumlah terbesar berada di Buleleng, yaitu 47.908 KK. Berikutnya di
Karangasem (41.826 KK), Bangli (13.191 KK), Tabanan (11.672 KK), Klungkung
(8.460 KK), Gianyar (7.629 KK), Jembrana (6.998 KK), Badung (5.201 KK), dan
Denpasar (4.159 KK). Demikian juga dengan Gepeng-Gepeng yang ada di Bali, dari
Dinas Sosial diketahui bahwa jumlah Gepeng di Bali masih banyak yaitu 1044
orang, yang dari tahun ke tahun jumlahnya masih tetap banyak yaitu 450 orang
(tahun 2004), 1346 orang (2005), dan 1044 orang (tahun 2006). Menarik apa yang diungkapkan oleh Ketua DPD
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Bali, A.A.
Ngurah Gede Widiada. Bahwa, ketergantungan Bali terhadap industri pariwisata
sangat jelas dirasakan pada saat Bali mengalami krisis kunjungan wisatawan
pascaserangan teroris yang meledakkan bom di Bali.
Kenyataannya mayoritas masyarakat miskin Indonesia
bekerja di sektor pertanian dan mayoritas masyarakat Bali
adalah petani.
Faktor Penyebab Timbulnya Gelandangan dan Pengemis
(Gepeng) di Kota Denpasar
Dari berbagai studi yang telah dilakukan diketahui bahwa faktor penyebab
orang menggepeng sangat kompleks, dan antara faktor yang satu mempunyai
keterkaitan erat dengan faktor lainnya. Hampir semua kajian tersebut menyimpulkan bahwa memang faktor utama
penyebab munculnya gepeng adalah ekonomi, tetapi kemiskinan ini bukanlah
satu-satunya faktor. Menyadari bahwa pangkal dari kesenjangan dan kemiskinan
adalah unsur manusianya, maka strategi dasar pemerataan pembangunan dan
penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan masyarakat. Dasar pandangannya
adalah bahwa upaya yang dilakukan harus langsung diarahkan pada akar
permasalahannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat dan mendinamiskan
potensinya. Dengan kata lain: memberdayakan mereka.(Ginandjar, 1997). Selain
kemiskinan, ada faktor lain yang bersifat kultural (tradisi dan kepercayaan),
ada yang bersifat sosial (seperti misalnya ajakan teman/ tetangga), dan faktor ignorance
(ketidaktahuan bahwa perilaku tersebut tidak benar). Faktor
pendorong yang sering teridentifikasi adalah adanya keterpaksaan, atau
pemaksaan dari orang yang mempunyai power
terhadap si pelaku pergepengan.
Sebuah studi di India Selatan, misalnya, menemukan bahwa banyak anak-anak
menjadi pengemis (bahkan juga menjadi penjaja seks) karena dipaksa oleh
orangtuanya. Penelitian di Yogyakarta juga
menemukan kasus serupa, demikian juga di Bali. Faktor sosial-budaya dan psikologis masyarakat, khususnya permissiveness terhadap perilaku
menggepeng (khususnya mengemis), juga merupakan faktor pendukung yang penting.
Karena secara sosial mengemis ''dibenarkan'' atau minimal
tidak disalahkan, maka aktivitas mengemis dianggap aktivitas yang biasa-biasa
saja di beberapa desa. Secara lebih makro, ternyata fenomena pergepengan
ini terkait erat dengan kesenjangan pembangunan antara desa dengan kota. Bahkan, sebagaimana dilaporkan, banyak pengemis yang
melakukan aktivitas mengemis ke kota secara ulang-alik
atau nglaju (commuting). Artinya,
pagi hari mereka datang ke Denpasar (atau kota lain)
untuk mengemis, selanjutnya kembali ke desanya pada sore atau malam harinya. Pengemis seperti ini memang kurang tepat disebut gepeng, karena
mereka bukanlah gelandangan yang tidak punya rumah.
Kebudayaan Bali
Kebudayaan Bali
pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama
Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh
faktor ruang ( desa ),
waktu ( kala )
dan kondisi riil di lapangan ( patra
). Konsep desa,
kala, dan patra menyebabkan
kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi
pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan
interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina,
dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam
seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni
rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula
budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali.
Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel
dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak
kehilangan jati diri (Mantra 1996).
METODE
PENULISAN
Metode
Penulisan
Metode yang diterapkan dalam
penyusunan tulisan ini adalah metode kajian pustaka dan metode observasi.
Metode kajian pustaka dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis dari
literatur, media cetak maupun media internet yang relevan yang dapat memberikan
informasi dalam pembuatan tulisan ini. Metoda kajian pustaka ini dilakukan
untuk mengetahui bagaimana kehidupan miskin di Bali
dan latar belakang terjadinya kegiatan menggepeng yang semakin meresahkan.
Metode observasi dilakukan dengan melihat dan mengamati secara langsung potret
kehidupan para gepeng
yang ada di kota
Denpasar. Dari informasi dan data-data yang telah diperoleh selanjutnya
dilakukan suatu metode analisa untuk mengkaji suatu solusi yang dapat diterapkan
dalam mengatasi permasalahan gepeng
di kota
Denpasar.
Langkah-Langkah dalam Penulisan
Adapun langkah-langkah yang dilakukan
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Identifikasi
Masalah
2. Pengumpulan
informasi dan data
3. Analisa
Permasalahan
4. Penyusunan
tulisan
5. Bimbingan
ANALISIS DAN SINTESIS
Analisis
Fenomena
pergepengan selalu terkait erat dengan kesenjangan pembangunan antara desa
dengan kota. Para gepeng menjadikan mengemis sebagai
pekerjaan yang mampu menjamin kelangsungan hidup mereka tanpa harus bekerja
berat. Bahkan, sebagaimana dilaporkan, banyak pengemis yang melakukan aktivitas
mengemis ke kota secara ulang-alik atau nglaju (commuting). Artinya, pagi hari mereka datang
ke Denpasar (atau kota lain) untuk mengemis,
selanjutnya kembali ke desanya pada sore atau malam harinya.
Penanganan masalah pergepengan di kota Denpasar dengan pendekatan
konvensional, yaitu menangkap dan memulangkan, sudah terbukti sangat tidak efektif. Hal ini
karena dengan hanya dipulangkan para gepeng tersebut akan kembali dengan cepat
ke kota Denpasar. Penanganan yang lebih komprehensif sangat
diperlukan, dengan mengkaji akar masalah serta berbagai faktor pendorong atau
pendukung terjadinya perilaku menggepeng. Faktor yang juga memegang peranan
yang sangat penting adalah faktor pendidikan. Pendidikan dalam konteks ini
diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal
dasar untuk bekerja. Pembekalan dasar berupa sikap, pengetahuan, dan
ketrampilan kerja pada calon luaran. Sehingga nantinya seseorang tidak lagi
bergantung dan mengganggu orang lain.(Umar, 1995). Pangkal dari
kesenjangan dan kemiskinan adalah unsur manusianya, maka strategi dasar
pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan
masyarakat. Dengan menyadari bahwa faktor makro penyebab
kegiatan penggepengan adalah kesenjangan desa-kota dan juga faktor pendidikan,
maka pembangunan pedesaan dan pendidikan di desa, merupakan salah satu jawaban
dalam menangani masalah pergepengan. Upaya untuk itu antara lain ditempuh
melalui program wajib belajar dan berbagai pelatihan.Kesempatan kerja terbuka
bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan, ketrampilan, dan keahliannya, serta
didukung oleh kemudahan untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan (Ginandjar,
1997).
Sintesis
Bertitik tolak
dari dua hal tersebut, yaitu pendidikan dan pelatihan maka solusi yang dapat
dikembangkan adalah dengan pemberian pelatihan ketrampilan yang berbasis
kebudayaan Bali seperti tari-tarian Bali, lagu daerah Bali, dan drama yang
berbasis kebudayaan Bali. Dimana setelah para gepeng menguasai
ketrampilan-ketrampilan tersebut maka akan dipertunjukkan melalui sebuah Konser
Mini Berbasis Budaya Bali untuk Gepeng (gelandangan dan pengemis) Kota
Denpasar.
Pelatihan dan
Konser Mini Berbasis Budaya Bali ini bertitik tolak dari kebudayaan Bali yang
beraneka ragam, konsep pelatihan dilakukan dengan mengumpulkan para gepeng di
sekitaran kota Denpasar, kemudian diberikan penjelasan mengenai maksud dan
tujuan diadakannya pelatihan ini. Setelah diadakan kesepakatan dimulailah
pelatihan sesuai dengan bakat dan minat mereka, contohnya anak yang memiliki
bakat menari dapat dilatih tari-tarian Bali. Sehingga para gepeng dapat
meningkatkan kreativitas untuk membuat pertunjukan yang menarik sesuai dengan
kemampuan individu.
Kemudian konsep
dari Konser Mini Berbasis Budaya Bali diadakan di tempat strategis yang mudah
dilihat sehingga menarik perhatian masyarakat sekitar. Konser Mini ini menampilkan
gabungan antara seni tari Bali, lagu-lagu daerah Bali, serta drama musikal Bali
yang dikemas secara kreatif, inovatif, dan modern.
Dengan
diadakannya Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali dapat menggali
potensi para gepeng yang selama ini kurang dikembangkan, sehingga para gepeng dapat membuat lapangan pekerjaan
sendiri dan tidak hanya menunggu belas kasihan dari orang lain. Dengan demikian
maka permasalahan gepeng di kota Denpasar dapat teratasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Adapun simpulan dari penulisan ini
adalah penanganan gepeng
di kota Denpasar dengan Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali dapat
mengatasi permasalahan gepeng yang ada karena para gepeng diberikan kesempatan
untuk mengembangkan bakat, ide, dan kreativitas yang mereka miliki, dan pelaksanaan Pelatihan dan
Konser Mini Berbasis Budaya Bali ini dapat dilakukan oleh para gepeng
sebagi pelaksananya, dengan dukungan
kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat sekitar.
Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari
penulisan ini adalah diharapkan kepada pemerintah untuk dapat lebih
memperhatikan permasalahan Gepeng di kota Denpasar khususnya dengan
mengembangkan Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali ini, kemudian diharapkan agar masyarakat untuk ikut
berperan aktif bersama pemerintah dalam mengatasi permasalahan Gepeng yang
cukup mengkhawatirkan di kota Denpasar.
Rekomendasi
Pemerintah daerah
dan lembaga terkait diharapkan merealisasikan dan mengembangkan
Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali. Dengan cara membentuk tim
pelaksana guna mengupayakan peminimalisiran peningkatan jumlah gepeng di Bali
sehingga masalah pergepengan bisa ditanggulangi.
DAFTAR PUSTAKA
Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Kemiskinan.
Balai Pustaka. Jakarta.
Mantra, Ida
Bagus. 1981. Population movement in wetrice communities : a Case
study of two dukuhs in Yogyakarta Special Region. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Munir, Rozy.
1981. Migrasi. Dikutip
dari Buku Dasar-Dasar Demografi. Lembaga Demografi. Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Pitana, I Gede.
2007. Pendekatan Komperhensif Tangani
Gepeng di Bali. Denpasar.
Said Rusli, dkk.
1995. Metodelogi Identifikasi Golongan
dan Daerah Miskin Suatu Tinjauan dan Alternatif. PT Gramedia Widiasarana
Indonesia. Jakarta.
Setya Dewanta A.
dkk. 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di
Indonesia. Aditya Media. Yogyakarta.
Tirtarahardja,
Umar dan La Sula. 1998. Pengantar
Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar