Bali is very
famous with cultural values and customs. Local wisdom Bali has a lot of
potential to be developed into a breakthrough, ranging from local knowledge of
food, beverages, custom homes, custom clothing, holy places, the ceremony, and
traditions that have been passed down from generation to generation to the
people of Bali. A tradition that reflects the Balinese local wisdom is Mreteka
Merana ceremony, one of which is known to Ngaben bikul. But along with
technological improvements and modernization, implementation of the ceremony is
not known by other Balinese society, especially the younger generation. Whereas
the values of local wisdom, especially in the tradition of ngaben bikul has relationships with three
aspects: environmental, social, and economic aspects as well as the application
of the concept of Tri Hita Karana. The first one we can see from the
environmental aspect of this tradition is certainly very helpful in terms of
stabilizing rice plant. If viewed from the social aspect, ngaben bikul
tradition is very influential on the social life of the community because the
community interaction with each other more than their daily lives. In terms of
economics, if the ceremony is not implemented the rat will attack a lot of rice
plant so farmers would have resulted in economic losses they become unstable,
contrary to the implementation of this ceremony rat who always disturbing the
community can be addressed so that their rice plants will grow well and their
economy will be stable. So because the benefits provided by this ceremony as
the people of Bali then we should participate in maintaining of ngaben bikul
ceremony.
Key
words: ngaben bikul, environmental, economic, social
Indonesia merupakan negara yang sangat
kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku, dan ras. Kearifan lokal dari
masing-masing daerah tersebut antara lain mengatur beberapa aspek kehidupan,
seperti hubungan sosial kemasyarakatan, ritual keagamaan, kepercayaan,
mitos-mitos, dan sanski adat. Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan
suatu ciri khas yang dapat membentuk karakter tersendiri pada masing-masing
daerah.
Salah satunya adalah pulau Bali yang
sangat tersohor dengan nilai kebudayaan dan juga adat istiadatnya. Kearifan
lokal Bali memiliki banyak potensi untuk dikembangkan menjadi suatu terobosan,
mulai dari kearifan lokal makanan, minuman, rumah adat, pakaian adat, tempat
suci, sarana upakara, dan tradisi-tradisi yang telah secara turun temurun
diwariskan kepada masyarakat Bali. Salah satu tradisi yang mencerminkan
kearifan lokal Bali adalah upacara Mreteka Merana salah satunya dikenal dengan ngaben bikul yaitu upacara ngaben yang
ditujukan untuk bikul (tikus) dengan tujuan untuk menghilangkan hama tikus
sekaligus pengaruh-pengaruh negatif di areal persawahan (Martawan, 2008).
Upacara ini sudah lama dilaksanakan oleh masyarakat Bali contohnya di kabupaten
Tabanan dan Badung, dengan tujuan untuk keselamatan dan kesuburan tanaman. Pelaksaan
ngaben bikul ini sama dengan pelaksanaan ngaben pada manusia salah satunya
adalah sama-sama menggunakan bade sebagai salah
satu tanda penghormatan terakhir bagi tikus, kemudian setelah dibakar,
abu dari tikus-tikus tersebut dihanyut ke laut. Upakara ini biasa dilaksanakan
pada saat bulan tikus atau pada saat muncul rasi bintang tikus sekitar bulan
agustus sampai oktober.
Namun seiring dengan peningkatan
teknologi dan moderenisasi, pelaksanaan
upacara ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat Bali lainnya, khususnya
generasi muda. Hal ini perlu dicermati karena kearifan lokal tersebut
mengandung banyak nilai-nilai yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini
karena sangat menekankan pada konsep Tri Hita Karana, dan seharusnya lebih
dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan menjadi lebih baik. Bahkan
orang-orang dari luar negeri berbondong-bondong ingin mempelajari lebih jauh
mengenai kearifan lokal di Bali, sedangkan masyarakat Bali sendiri tampaknya
kurang antusias untuk berpartisipasi dalam menjaga eksistensi kearifan lokal
yang dimiliki.
Bertitik tolak dari permasalahan
tersebut maka tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai nilai-nilai
kearifan lokal khususnya pada tradisi ngaben
bikul dalam hubungannya dengan tiga aspek yaitu aspek lingkungan, aspek
sosial, dan juga aspek ekonomi sebagai penerapan dari konsep Tri Hita Karana. Adapun tujuan yang ingin dicapai pada tulisan
ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah hubungan anatara tradisi ngaben bikul dengan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi, memberikan informasi mengenai kearifan lokal
Bali khususnya tradisi ngaben bikul.
Dan sebagai salah satu upaya untuk menjaga eksistensi tradisi ngaben bikul sebagai salah satu kearifan
lokal Bali. Dan manfaat yang didapatkan melalui tulisan ini adalah secara tidak
langsung dapat menjaga eksistensi tradisi ngaben
bikul ini karena dengan membaca tulisan ini pembaca akan mendapatkan
informasi mengenai kearifan lokal Bali.
METODE PENULISAN
Metode
yang diterapkan dalam penyusunan tulisan ini adalah metode kajian pustaka dan
metode observasi. Metode kajian pustaka dilakukan dengan mengumpulkan
sumber-sumber tertulis dari literatur, media cetak maupun media internet yang
relevan yang dapat memberikan informasi dalam pembuatan tulisan ini. Metoda
kajian pustaka ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana sejarah dan nilai-nilai
yang terkandung di dalam tradisi Mreteka Merana dan melihat hubungannya dengan
aspek lingkungan, sosial, dan ekonominya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Upacara
Ngaben bikul digelar ketika wabah
tikus menyerang sawah-sawah petani. Tikus-tikus diburu dengan berbagai cara
seperti mengasapi lubang persembunyiannya, mengejar ramai-ramai, membabat
semak-semak, melempari dengan batu, menembaki dengan ketapel. Ratusan ekor
tikus berhasil ditangkap hidup atau mati. Layaknya ngaben manusia, ngaben bikul pun melalui urutan-urutan
upacara yang ketat. Ngaben tidak digelar di kuburan, tetapi di pantai karena
laut dianggap sebagai sumber hama yang menyerang tanaman petani. Setelah
upacara pembakaran selesai dilanjutkan dengan upacara nganyut (membuang abu) ke
laut (Wiratha, 2010).
Ngaben bikul
telah ada berabad-abad lalu ketika Bali masih mengalami jaman kerajaan. Ngaben bikul adalah warisan kebudayaan
agraris yang pernah ada di Bali, dan bertahan terus hingga sekarang. Menurut
kepercayaan orang Bali, tikus yang menyerang tanaman padi di sawah atau isi
lumbung di rumah tidak boleh dicaci maki dengan kasar. Semakin tikus dicaci maki
mereka akan semakin merajalela. Sebenarnya mitos-mitos seperti ini juga mengandung filosofi yang jika
dicermati akan menjadi suatu pemikiran yang sesuai dengan logika, tikus tidak
boleh dicaci maki tentu saja dasar pemikirannya adalah manusia dengan tikus
sama-sama mahluk hidup yang membutuhkan makanan dan tempat tinggal sehingga
tidak salah jika tikus mencari makanan pada tempat tinggal manusia untuk
meneruskan kehidupannya. Filosofi lainnya adalah semakin kita kasar terhadap
mahluk hidup lainnya maka akan ada timbal balik dari mahluk hidup tersebut
untuk mengganggu kehidupan manusia, hal ini tentu sangat relevan dengan konsep
Hindu yaitu Tri Hita Karana.
Demikian
pula pada pelaksanaan tradisi Mreteka Merana yaitu Ngaben bikul mengandung nilai kearifan lokal dan juga nilai
filosofi yang menyangkut aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia. Yang
pertama dapat kita lihat dari aspek lingkungan, pelaksanaan Ngaben bikul ini berdasarkan pandangan
masyarakat Bali bertujuan untuk membersihkan hama tanaman dan juga
menghilangkan pengaruh-pengaruh buruk dari aspek niskala, apabila kita cermati
lebih jauh tradisi ini tentunya sangat membantu dalam hal menjaga keseimbangan
ekosistem persawahan, apabila hama tikus tidak dimusnahkan maka akan berakibat
buruk terhadap tanaman padi, sehingga populasi tikus bertambah dan populasi
tanaman padi semakin berkurang. Selain itu pertanian yang cenderung mengarah ke
proses moderenisasi seperti penggunaan pestisida, padahal penggunaan pestisida
untuk menanggulangi hama seperti tikus sangat berbahaya. Karena selain
mencemari lingkungan juga dapat menjadi residu yang dapat membahayakan petani
itu sendiri. Maka tradisi ini merupakan salah satu solusi mencegah hama tikus
tanpa harus merusak lingkungan dan sekaligus tetap menjaga tradisi leluhur
masyarakat Bali.
Jika
ditinjau dari aspek sosial tradisi Ngaben
bikul ini dapat meningkatkan hubungan antara masyarakat yang berada di
sekitar areal persawahan, misalnya dapat dilihat dari sebelum upacara
dilaksanakan masyarakat secara bersama-sama memburu tikus-tikus di sekitar
persawahan mereka, kemudian secara bergotong royong membuat bade dan sarana
upacara lainnya. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap kehidupan
sosial masyarakat karena antara masyarakat satu dengan lainnya terjadi
interaksi yang lebih dari kehidupan sehari-harinya akibat dari pelaksanaan
upacara Ngaben bikul ini. Selain itu
masyarakat yang masih melaksanakan tradisi ini tentu akan mengikutsertakan
generasi-generasi penerus mereka untuk ikut berpartisipasi dalam upakara ini.
Sehingga nantinya tradisi ini dapat diteruskan secara turun temurun.
Selain
aspek-aspek tersebut, aspek yang juga sangat dipengaruhi dalam upacara ini
tentunya dari segi ekonomi, masyarakat yang melaksanakan upacara ngaben bikul ini tentu saja masyarakat
yang berprofesi sebagai petani yang memprioritaskan panen padi sebagai sumber
penghasilan, jika upacara ini tidak dilaksanakan maka hama tikus akan menyerang
banyak tanaman padi sehingga para petani akan mengalami kerugian yang
mengakibatkan perekonomian mereka menjadi tidak stabil, sebaliknya dengan
pelaksanaan upacara ini hama tikus yang selalu meresahkan masyarakat dapat
diatasi sehingga tanaman padi mereka juga akan tumbuh baik dan perekonomian
petani akan menjadi stabil. Selain itu keberadaan tradisi ini juga tentu sangat
menarik perhatian wisatawan baik domestik maupun mancanegara sehingga dapat
dimanfaatkan bagi masyarakat sekitar untuk meningkatkan perekonomian baik
pribadi maupun perekonomian daerah.
Ditinjau
dari ketiga aspek tersebut tentu saja upacara ngaben bikul ini sangat bermanfaat dan memiliki pengaruh yang
positif baik bagi lingkungan maupun masyarakatnya. Oleh karena itu eksistensi
upacara ini harus lebih dijaga dan dikembangkan agar lebih bermanfaat bagi
masyarakat luas.
KESIMPULAN DAN SARAN
Tradisi
Mreteka Merana yaitu Ngaben bikul
mengandung nilai kearifan lokal dan juga nilai filosofi yang menyangkut
aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia. Yang pertama dapat kita lihat dari
aspek lingkungan tradisi ini tentunya sangat membantu dalam hal menjaga
keseimbangan ekosistem persawahan dan juga dapat mengurangi penggunaan bahan
kimia berbahaya seperti pestisida untuk menanggulangi hama khususnya hama tikus.
Jika ditinjau dari aspek sosial tradisi Ngaben
bikul ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat karena
antara masyarakat satu dengan lainnya terjadi interaksi yang lebih dari
kehidupan sehari-harinya dan juga masyarakat dapat secara tidak langsung
memperkenalkan tradisi ini kepada generasi penerus dengan mengajak mereka
berpartisipasi dalam upacara ini. Dari segi ekonomi, pelaksanaan upacara ini
dapat meningkatkan perekonomian masyarakat yg bekerja sebagai petani karena
dengan dibasminya hama tikus maka hasil panen pun akan semakin meningkat dan
kualitasnya baik, selain itu keunikan dari tradisi ini tentu dapat menarik
minat para wisatawan untuk berkunjung dan melihat secara langsung upacara ini
sehingga dapat dijadikan suatu terobosan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat. Oleh karena manfaat yang diberikan upacara ini maka sebagai
masyarakat Bali kita perlu ikut berpartisipasi dalam menjaga keeksistensian
dari upacara ngaben bikul ini. Agar
nantinya kebudayaan agraris masyarakat Bali ini dapat terus dilaksanakan dan
tidak menjadi sebuah sejarah yang hanya diperbincangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Arcana, Putu Fajar. 2007. Surat Merah untuk Bali. Tersedia pada http://books.google.co.id.
Diakses tanggal 12 Januari 2012
Dwipayana, Indra. 2010. Tradisi Aneh di Bali (Ngaben Tikus).
Tersedia pada www.dex-indra.blogspot.com. Diakses tanggal 2 November 2011.
Martawan, I Nyoman.
2008. Ngaben Tikus di Seseh. Tersedia
pada www.potretbali.blogspot.com. Diakses tanggal 2 November 2011.
Wiratha, I Gusti Nyoman. 2010. Upacara Mreteka Merana/Ngaben Tikus.
Tersedia pada www.tabanankab.go.id. Diakses tanggal 30 Oktober 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar