followers

Selasa, 22 Mei 2012

Konser Mini Berbasis Budaya Bali



RINGKASAN

Gepeng (gelandangan dan pengemis) merupakan salah satu permasalahan sosial serius yang dihadapi pemerintah kota Denpasar. Penanganan masalah pergepengan dengan pendekatan konvensional, yaitu menangkap dan memulangkan, sudah terbukti sangat tidak efektif. Penanganan yang lebih komprehensif sangat diperlukan, dengan mengkaji akar masalah serta berbagai faktor pendorong dan/ atau pendukung terjadinya perilaku menggepeng.
          Bertitik tolak dari hal tersebut maka menarik untuk dilakukan suatu pelatihan ketrampilan yang berbasis kebudayaan Bali seperti tari-tarian Bali, lagu daerah Bali, dan drama yang berbasis kebudayaan Bali. Dimana setelah para gepeng menguasai ketrampilan-ketrampilan tersebut maka akan dipertunjukkan melalui sebuah Konser Mini Berbasis Budaya Bali untuk Gepeng (gelandangan dan pengemis) Kota Denpasar. Program ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan gepeng di kota Denpasar, sekaligus ntuk meningkatkan keahlian gepeng yang berbasis kebudayaan Bali. Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan masyarakat tentang solusi penanganan gepeng yang lebih efektif, untuk meningkatkan kepedulian masyarakat khususnya masyarakat untuk ikut berperan aktif bersama pemerintah dalam mengatasi permasalahan gepeng yang cukup mengkhawatirkan di kota Denpasar.

         Metode yang diterapkan dalam penyusunan tulisan ini adalah metode kajian pustaka yang dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis dari literatur, media cetak maupun media internet yang relevan yang dapat memberikan informasi dalam pembuatan tulisan ini, dan metode observasi dilakukan dengan melihat dan mengamati secara langsung potret kehidupan para Gepeng yang ada di kota Denpasar.
Bertitik tolak dari hal tersebut, yaitu pendidikan dan pelatihan maka solusi yang dapat dikembangkan adalah dengan pemberian pelatihan ketrampilan yang berbasis kebudayaan Bali seperti tari-tarian Bali, lagu daerah Bali, dan drama yang berbasis kebudayaan Bali. Dimana setelah para gepeng menguasai ketrampilan-ketrampilan tersebut maka akan dipertunjukkan melalui sebuah Konser Mini Berbasis Budaya Bali untuk Gepeng (gelandangan dan pengemis) Kota Denpasar. Kemudian konsep dari Konser Mini Berbasis Budaya Bali diadakan di tempat strategis yang mudah dilihat sehingga menarik perhatian masyarakat sekitar. Konser Mini ini menampilkan gabungan antara seni tari Bali, lagu-lagu daerah Bali, serta drama musikal Bali yang dikemas secara kreatif, inovatif, dan modern. Dengan diadakannya Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali dapat menggali potensi para gepeng yang selama ini kurang dikembangkan, sehingga  para gepeng dapat membuat lapangan pekerjaan sendiri dan tidak hanya menunggu belas kasihan dari orang lain. Dengan demikian maka permasalahan gepeng di kota Denpasar dapat teratasi.
PENDAHULUAN
 Latar Belakang Masalah
        Gepeng (gelandangan dan pengemis) merupakan salah satu permasalahan sosial serius yang dihadapi pemerintah kota Denpasar. Hampir di berbagai sudut kota Denpasar dapat kita jumpai keberadaan para gepeng. Gepeng seolah menjadi simbol keberadaan masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan sebagai konsekuensi dari ketidakmampuan menghadapi persaingan hidup yang keras. Sebagian besar faktor penentuan keputusan para gepeng tersebut untuk bekerja sebagai gepeng biasanya karena faktor ekonomi. Dan pada umumnya, latar belakang ekonomi tersebut berimplikasi terhadap standar kehidupan mereka. Tingginya aktivitas menggepeng dikarenakan para gepeng menganggap aktivitas tersebut adalah sebuah pekerjaan. Kemudian dikarenakan minimnya keterampilan serta pendidikan yang dimiliki. Maraknya aktivitas menggepeng yang dapat dilihat di seputaran kota Denpasar pada tahun-tahun terakhir ini menjadi fenomena yang menarik ditengah eksistensi Bali sebagai daerah pariwisata yang bertumpu pada pariwisata budaya. Hal ini karena kota Denpasar merupakan ibukota propinsi Bali yang merupakan pusat utama segala kegiatan dan aktivitas pemerintahan. Pemerintah kota telah melakukan berbagai upaya untuk memberantas atau menghilangkan praktek-praktek menggepeng di kota Denpasar. Tetapi masih saja ada kita temui gepeng-gepeng di kota berwawasan budaya ini.
        Dari data Dinas Sosial Kota Denpasar memang kebanyakan gepeng-gepeng tersebut kebanyakan berasal dari Munti Gunung, Pedahan, Singaraja, dan Trunyan. Dan sisanya dari luar Bali seperti dari Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Lombok, Madura, Malang, dan Kediri. Berkaca dari data ini dapat dikatakan bahwa fenomena pergepengan ini terkait erat dengan kesenjangan pembangunan antara desa dengan kota. Kesenjangan pembangunan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang pesat di kota dan keterbelakangan ekonomi daerah pedesaan, membuat kota menjadi magnet yang begitu menarik bagi kaum papa di pedesaan.
        Dari berbagai studi diketahui bahwa faktor penyebab orang menggepeng sangat kopmpleks, dan antara faktor yang satu mempunyai keterkaitan erat dengan faktor lainnya. Hampir semua kajian tersebut menyimpulkan bahwa memang faktor utama penyebab munculnya gepeng adalah ekonomi, tetapi kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor. Ada faktor lain yang bersifat kultural (tradisi dan kepercayaan), ada yang bersifat sosial (seperti misalnya ajakan teman/ tetangga), dan faktor ignorance (ketidaktahuan bahwa perilaku tersebut tidak benar). Faktor pendorong yang sering teridentifikasi adalah adanya keterpaksaan, atau pemaksaan dari orang yang mempunyai power terhadap gepeng itu sendiri. Faktor sosial-budaya dan psikologis masyarakat, khususnya permissiveness terhadap perilaku menggepeng , juga merupakan faktor pendukung yang penting. Karena secara sosial mengemis ''dibenarkan'' atau minimal tidak disalahkan, maka aktivitas mengemis dianggap aktivitas yang biasa-biasa saja di beberapa desa.
       Penanganan masalah pergepengan dengan pendekatan konvensional, yaitu menangkap dan memulangkan, sudah terbukti sangat tidak efektif. Pendekatan ini hanya menghilangkan gejala sesaat, seperti memberikan obat sakit kepala, yang hanya menghilangkan rasa sakit sesaat, tetapi tidak menangani penyakitnya. Penanganan yang lebih komprehensif sangat diperlukan, dengan mengkaji akar masalah serta berbagai faktor pendorong dan pendukung terjadinya perilaku menggepeng. Sebagaimana disebutkan di atas, faktor makro yang sangat menentukan gejala mengemis ke kota adalah kesenjangan pembangunan antara desa dan kota. Selanjutnya, faktor pendidikan juga memegang peranan yang sangat penting. Bukan saja pengemis yang harus dididik dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan untuk hidup di luar dunia pergepengan. Masyarakat umum yang menjadi sumber penghasilan bagi pengemis juga harus diberikan pendidikan atau penyadaran. Konsep belas kasihan ataupun menawa-seva jangan diartikan secara sempit, yaitu memberikan sedekah kepada kaum papa yang mengemis di jalan-jalan. Dalam konteks ini, masyarakat harus diberikan kesadaran untuk berdana-punia secara terorganisasi, melalui badan atau lembaga yang bisa membantu mengeluarkan para pengemis dari kehidupan mengemis, serta mencegah munculnya pengemis-pengemis baru.
        Dengan menyadari bahwa faktor makro penyebab kegiatan penggepengan adalah kesenjangan pembangunan antara desa dan kota dan juga faktor pendidikan, maka pembangunan pedesaan dan pendidikan di desa, merupakan salah satu jawaban dalam menangani masalah pergepengan. Bertitik tolak dari hal tersebut maka menarik untuk dilakukan suatu pelatihan ketrampilan yang berbasis kebudayaan Bali seperti tari-tarian Bali, lagu daerah Bali, dan drama yang berbasis kebudayaan Bali. Dimana setelah para gepeng menguasai ketrampilan-ketrampilan tersebut maka akan dipertunjukkan melalui sebuah Konser Mini Berbasis Budaya Bali untuk Gepeng (gelandangan dan pengemis) Kota Denpasar. Dengan diadakannya program Konser Mini ini diharapkan gepeng tidak hanya meminta belas kasihan dan bekerja sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan yang mereka miliki.


Rumusan Masalah
        Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah apakah dengan diadakannya pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali untuk Gepeng (gelandangan dan pengemis) Kota Denpasar dapat mengurangi keberadaan gepeng liar yang tidak memiliki ketrampilan?



Tujuan Penulisan
        Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengatasi permasalahan gepeng di kota Denpasar dengan diadakannya pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali untuk Gepeng (gelandangan dan pengemis) Kota Denpasar, sekaligus untuk meningkatkan ketrampilan gepeng yang berbasis kebudayaan Bali


Manfaat Penulisan
        Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan masyarakat tentang solusi penanganan gepeng yang lebih efektif dibandingkan dengan penanganan yang selama ini hanya menangkap dan memulangkan yang cenderung bersifat sementara, untuk meningkatkan kepedulian masyarakat khususnya masyarakat untuk ikut berperan aktif bersama pemerintah dalam mengatasi permasalahan gepeng yang cukup mengkhawatirkan di kota Denpasar, dan tulisan ini diharapkan akan dapat memberikan masukan kepada para akademisi dan peneliti untuk lebih aktif melakukan penelitian-penelitian masalah sosial kemasyarakatan sehingga di masa datang diharapkan diperoleh solusi yang lebih efektif dalam mengatasi masalah gepeng dan kemiskinan di kota Denpasar dan kabupaten lainnya di provinsi Bali.


TELAAH PUSTAKA
Gambaran Umum Kemiskinan di Propinsi Bali
        Potret wisata Bali terutama di daerah Badung dan sebagian Kota Denpasar, seakan mengisahkan Bali bebas dari kontaminasi virus kemiskinan. Sungguh, Bali dari tampilan wajah pariwisatanya, seakan meyakinkan pengunjung bahwa provinsi ini tidak lagi tersentuh kemiskinan. Benarkah sebuah kesimpulan yang hanya berdasarkan kesaksian empiris seperti itu? Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup yang menggambarkan kekurangan materi (Said Rusli, 1995).

Dari hasil survei yang dilakukan, dapat diketahui bahwa dari 413 responden yang meliputi 67 desa/ kampung di seluruh Bali, diketahui bahwa sebagian besar bermatapencaharian sebagai buruh/ tukang (29,5%), pedagang (21,1%), dan petani (16,5%) dengan penghasilan rata-rata kurang dari 200 ribu/ bulan (52,5%) dan sebagian besar memiliki hutang (77,5%).Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2006 tentang angka kemiskinan di Bali menunjukkan masih cukup tinggi jumlah keluarga miskin di Bali yaitu 147.044 kepala keluarga (KK). Jumlah terbesar berada di Buleleng, yaitu 47.908 KK. Berikutnya di Karangasem (41.826 KK), Bangli (13.191 KK), Tabanan (11.672 KK), Klungkung (8.460 KK), Gianyar (7.629 KK), Jembrana (6.998 KK), Badung (5.201 KK), dan Denpasar (4.159 KK). Demikian juga dengan Gepeng-Gepeng yang ada di Bali, dari Dinas Sosial diketahui bahwa jumlah Gepeng di Bali masih banyak yaitu 1044 orang, yang dari tahun ke tahun jumlahnya masih tetap banyak yaitu 450 orang (tahun 2004), 1346 orang (2005), dan 1044 orang (tahun 2006).  Menarik apa yang diungkapkan oleh Ketua DPD Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Bali, A.A. Ngurah Gede Widiada. Bahwa, ketergantungan Bali terhadap industri pariwisata sangat jelas dirasakan pada saat Bali mengalami krisis kunjungan wisatawan pascaserangan teroris yang meledakkan bom di Bali. Kenyataannya mayoritas masyarakat miskin Indonesia bekerja di sektor pertanian dan mayoritas masyarakat Bali adalah petani.


Faktor Penyebab Timbulnya Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di Kota Denpasar
Dari berbagai studi yang telah dilakukan diketahui bahwa faktor penyebab orang menggepeng sangat kompleks, dan antara faktor yang satu mempunyai keterkaitan erat dengan faktor lainnya. Hampir semua kajian tersebut menyimpulkan bahwa memang faktor utama penyebab munculnya gepeng adalah ekonomi, tetapi kemiskinan ini bukanlah satu-satunya faktor. Menyadari bahwa pangkal dari kesenjangan dan kemiskinan adalah unsur manusianya, maka strategi dasar pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan masyarakat. Dasar pandangannya adalah bahwa upaya yang dilakukan harus langsung diarahkan pada akar permasalahannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat dan mendinamiskan potensinya. Dengan kata lain: memberdayakan mereka.(Ginandjar, 1997). Selain kemiskinan, ada faktor lain yang bersifat kultural (tradisi dan kepercayaan), ada yang bersifat sosial (seperti misalnya ajakan teman/ tetangga), dan faktor ignorance (ketidaktahuan bahwa perilaku tersebut tidak benar). Faktor pendorong yang sering teridentifikasi adalah adanya keterpaksaan, atau pemaksaan dari orang yang mempunyai power terhadap si pelaku pergepengan.

Sebuah studi di India Selatan, misalnya, menemukan bahwa banyak anak-anak menjadi pengemis (bahkan juga menjadi penjaja seks) karena dipaksa oleh orangtuanya. Penelitian di Yogyakarta juga menemukan kasus serupa, demikian juga di Bali. Faktor sosial-budaya dan psikologis masyarakat, khususnya permissiveness terhadap perilaku menggepeng (khususnya mengemis), juga merupakan faktor pendukung yang penting. Karena secara sosial mengemis ''dibenarkan'' atau minimal tidak disalahkan, maka aktivitas mengemis dianggap aktivitas yang biasa-biasa saja di beberapa desa. Secara lebih makro, ternyata fenomena pergepengan ini terkait erat dengan kesenjangan pembangunan antara desa dengan kota. Bahkan, sebagaimana dilaporkan, banyak pengemis yang melakukan aktivitas mengemis ke kota secara ulang-alik atau nglaju (commuting). Artinya, pagi hari mereka datang ke Denpasar (atau kota lain) untuk mengemis, selanjutnya kembali ke desanya pada sore atau malam harinya. Pengemis seperti ini memang kurang tepat disebut gepeng, karena mereka bukanlah gelandangan yang tidak punya rumah.

Kebudayaan Bali
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996).

METODE PENULISAN
Metode Penulisan
Metode yang diterapkan dalam penyusunan tulisan ini adalah metode kajian pustaka dan metode observasi. Metode kajian pustaka dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis dari literatur, media cetak maupun media internet yang relevan yang dapat memberikan informasi dalam pembuatan tulisan ini. Metoda kajian pustaka ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kehidupan miskin di Bali dan latar belakang terjadinya kegiatan menggepeng yang semakin meresahkan. Metode observasi dilakukan dengan melihat dan mengamati secara langsung potret kehidupan para gepeng yang ada di kota Denpasar. Dari informasi dan data-data yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan suatu metode analisa untuk mengkaji suatu solusi yang dapat diterapkan dalam mengatasi permasalahan gepeng di kota Denpasar.

 Langkah-Langkah dalam Penulisan
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.   Identifikasi Masalah
2.   Pengumpulan informasi dan data
3.   Analisa Permasalahan
4.   Penyusunan tulisan
5.   Bimbingan


ANALISIS DAN SINTESIS

Analisis
Fenomena pergepengan selalu terkait erat dengan kesenjangan pembangunan antara desa dengan kota. Para gepeng menjadikan mengemis sebagai pekerjaan yang mampu menjamin kelangsungan hidup mereka tanpa harus bekerja berat. Bahkan, sebagaimana dilaporkan, banyak pengemis yang melakukan aktivitas mengemis ke kota secara ulang-alik atau nglaju (commuting). Artinya, pagi hari mereka datang ke Denpasar (atau kota lain) untuk mengemis, selanjutnya kembali ke desanya pada sore atau malam harinya.

Penanganan masalah pergepengan di kota Denpasar dengan pendekatan konvensional, yaitu menangkap dan memulangkan, sudah terbukti sangat tidak efektif. Hal ini karena dengan hanya dipulangkan para gepeng tersebut akan kembali dengan cepat ke kota Denpasar. Penanganan yang lebih komprehensif sangat diperlukan, dengan mengkaji akar masalah serta berbagai faktor pendorong atau pendukung terjadinya perilaku menggepeng. Faktor yang juga memegang peranan yang sangat penting adalah faktor pendidikan. Pendidikan dalam konteks ini diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja. Pembekalan dasar berupa sikap, pengetahuan, dan ketrampilan kerja pada calon luaran. Sehingga nantinya seseorang tidak lagi bergantung dan mengganggu orang lain.(Umar, 1995). Pangkal dari kesenjangan dan kemiskinan adalah unsur manusianya, maka strategi dasar pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan masyarakat. Dengan menyadari bahwa faktor makro penyebab kegiatan penggepengan adalah kesenjangan desa-kota dan juga faktor pendidikan, maka pembangunan pedesaan dan pendidikan di desa, merupakan salah satu jawaban dalam menangani masalah pergepengan. Upaya untuk itu antara lain ditempuh melalui program wajib belajar dan berbagai pelatihan.Kesempatan kerja terbuka bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan, ketrampilan, dan keahliannya, serta didukung oleh kemudahan untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan (Ginandjar, 1997).

Sintesis
Bertitik tolak dari dua hal tersebut, yaitu pendidikan dan pelatihan maka solusi yang dapat dikembangkan adalah dengan pemberian pelatihan ketrampilan yang berbasis kebudayaan Bali seperti tari-tarian Bali, lagu daerah Bali, dan drama yang berbasis kebudayaan Bali. Dimana setelah para gepeng menguasai ketrampilan-ketrampilan tersebut maka akan dipertunjukkan melalui sebuah Konser Mini Berbasis Budaya Bali untuk Gepeng (gelandangan dan pengemis) Kota Denpasar.

Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali ini bertitik tolak dari kebudayaan Bali yang beraneka ragam, konsep pelatihan dilakukan dengan mengumpulkan para gepeng di sekitaran kota Denpasar, kemudian diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan diadakannya pelatihan ini. Setelah diadakan kesepakatan dimulailah pelatihan sesuai dengan bakat dan minat mereka, contohnya anak yang memiliki bakat menari dapat dilatih tari-tarian Bali. Sehingga para gepeng dapat meningkatkan kreativitas untuk membuat pertunjukan yang menarik sesuai dengan kemampuan individu.

Kemudian konsep dari Konser Mini Berbasis Budaya Bali diadakan di tempat strategis yang mudah dilihat sehingga menarik perhatian masyarakat sekitar. Konser Mini ini menampilkan gabungan antara seni tari Bali, lagu-lagu daerah Bali, serta drama musikal Bali yang dikemas secara kreatif, inovatif, dan modern.

Dengan diadakannya Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali dapat menggali potensi para gepeng yang selama ini kurang dikembangkan, sehingga  para gepeng dapat membuat lapangan pekerjaan sendiri dan tidak hanya menunggu belas kasihan dari orang lain. Dengan demikian maka permasalahan gepeng di kota Denpasar dapat teratasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Adapun simpulan dari penulisan ini adalah penanganan gepeng di kota Denpasar dengan Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali dapat mengatasi permasalahan gepeng yang ada karena para gepeng diberikan kesempatan untuk mengembangkan bakat, ide, dan kreativitas yang mereka miliki, dan pelaksanaan Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali  ini dapat dilakukan oleh para gepeng sebagi pelaksananya, dengan dukungan kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat sekitar.

Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari penulisan ini adalah diharapkan kepada pemerintah untuk dapat lebih memperhatikan permasalahan Gepeng di kota Denpasar khususnya dengan mengembangkan Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali ini, kemudian diharapkan agar masyarakat untuk ikut berperan aktif bersama pemerintah dalam mengatasi permasalahan Gepeng yang cukup mengkhawatirkan di kota Denpasar.


Rekomendasi
Pemerintah daerah dan lembaga terkait diharapkan merealisasikan dan mengembangkan Pelatihan dan Konser Mini Berbasis Budaya Bali. Dengan cara membentuk tim pelaksana guna mengupayakan peminimalisiran peningkatan jumlah gepeng di Bali sehingga masalah pergepengan bisa ditanggulangi.

DAFTAR PUSTAKA
Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Kemiskinan. Balai Pustaka. Jakarta.
Mantra, Ida Bagus. 1981. Population movement in wetrice communities : a Case study of two dukuhs in Yogyakarta Special Region. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Munir, Rozy. 1981. Migrasi. Dikutip dari Buku Dasar-Dasar Demografi. Lembaga Demografi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Pitana, I Gede. 2007. Pendekatan Komperhensif Tangani Gepeng di Bali. Denpasar.
Said Rusli, dkk. 1995. Metodelogi Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin Suatu Tinjauan dan Alternatif. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Setya Dewanta A. dkk. 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Aditya Media. Yogyakarta.
Tirtarahardja, Umar dan La Sula. 1998. Pengantar Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar