followers

Selasa, 08 Mei 2012

NGABEN BIKUL SEBUAH KEBUDAYAAN AGRARIS MASYARAKAT BALI



ABSTRACK
Bali is very famous with cultural values ​​and customs. Local wisdom Bali has a lot of potential to be developed into a breakthrough, ranging from local knowledge of food, beverages, custom homes, custom clothing, holy places, the ceremony, and traditions that have been passed down from generation to generation to the people of Bali. A tradition that reflects the Balinese local wisdom is Mreteka Merana ceremony, one of which is known to Ngaben bikul. But along with technological improvements and modernization, implementation of the ceremony is not known by other Balinese society, especially the younger generation. Whereas the values ​​of local wisdom, especially in the tradition of  ngaben bikul has relationships with three aspects: environmental, social, and economic aspects as well as the application of the concept of Tri Hita Karana. The first one we can see from the environmental aspect of this tradition is certainly very helpful in terms of stabilizing rice plant. If viewed from the social aspect, ngaben bikul tradition is very influential on the social life of the community because the community interaction with each other more than their daily lives. In terms of economics, if the ceremony is not implemented the rat will attack a lot of rice plant so farmers would have resulted in economic losses they become unstable, contrary to the implementation of this ceremony rat who always disturbing the community can be addressed so that their rice plants will grow well and their economy will be stable. So because the benefits provided by this ceremony as the people of Bali then we should participate in maintaining of ngaben bikul ceremony.

Key words: ngaben bikul, environmental, economic, social


PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku, dan ras. Kearifan lokal dari masing-masing daerah tersebut antara lain mengatur beberapa aspek kehidupan, seperti hubungan sosial kemasyarakatan, ritual keagamaan, kepercayaan, mitos-mitos, dan sanski adat. Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan suatu ciri khas yang dapat membentuk karakter tersendiri pada masing-masing daerah.
Salah satunya adalah pulau Bali yang sangat tersohor dengan nilai kebudayaan dan juga adat istiadatnya. Kearifan lokal Bali memiliki banyak potensi untuk dikembangkan menjadi suatu terobosan, mulai dari kearifan lokal makanan, minuman, rumah adat, pakaian adat, tempat suci, sarana upakara, dan tradisi-tradisi yang telah secara turun temurun diwariskan kepada masyarakat Bali. Salah satu tradisi yang mencerminkan kearifan lokal Bali adalah upacara Mreteka Merana salah satunya dikenal dengan ngaben bikul yaitu upacara ngaben yang ditujukan untuk bikul (tikus) dengan tujuan untuk menghilangkan hama tikus sekaligus pengaruh-pengaruh negatif di areal persawahan (Martawan, 2008). Upacara ini sudah lama dilaksanakan oleh masyarakat Bali contohnya di kabupaten Tabanan dan Badung, dengan tujuan untuk keselamatan dan kesuburan tanaman. Pelaksaan ngaben bikul ini sama dengan pelaksanaan ngaben pada manusia salah satunya adalah sama-sama menggunakan bade sebagai salah  satu tanda penghormatan terakhir bagi tikus, kemudian setelah dibakar, abu dari tikus-tikus tersebut dihanyut ke laut. Upakara ini biasa dilaksanakan pada saat bulan tikus atau pada saat muncul rasi bintang tikus sekitar bulan agustus sampai oktober.
Namun seiring dengan peningkatan teknologi dan moderenisasi,  pelaksanaan upacara ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat Bali lainnya, khususnya generasi muda. Hal ini perlu dicermati karena kearifan lokal tersebut mengandung banyak nilai-nilai yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini karena sangat menekankan pada konsep Tri Hita Karana, dan seharusnya lebih dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan menjadi lebih baik. Bahkan orang-orang dari luar negeri berbondong-bondong ingin mempelajari lebih jauh mengenai kearifan lokal di Bali, sedangkan masyarakat Bali sendiri tampaknya kurang antusias untuk berpartisipasi dalam menjaga eksistensi kearifan lokal yang dimiliki.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut maka tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai nilai-nilai kearifan lokal khususnya pada tradisi ngaben bikul dalam hubungannya dengan tiga aspek yaitu aspek lingkungan, aspek sosial, dan juga aspek ekonomi sebagai penerapan dari konsep Tri Hita Karana. Adapun tujuan yang ingin dicapai pada tulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah hubungan anatara tradisi ngaben bikul dengan   aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi,  memberikan informasi mengenai kearifan lokal Bali khususnya tradisi ngaben bikul. Dan sebagai salah satu upaya untuk menjaga eksistensi tradisi ngaben bikul sebagai salah satu kearifan lokal Bali. Dan manfaat yang didapatkan melalui tulisan ini adalah secara tidak langsung dapat menjaga eksistensi tradisi ngaben bikul ini karena dengan membaca tulisan ini pembaca akan mendapatkan informasi mengenai kearifan lokal Bali.



METODE PENULISAN

Metode yang diterapkan dalam penyusunan tulisan ini adalah metode kajian pustaka dan metode observasi. Metode kajian pustaka dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis dari literatur, media cetak maupun media internet yang relevan yang dapat memberikan informasi dalam pembuatan tulisan ini. Metoda kajian pustaka ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana sejarah dan nilai-nilai yang terkandung di dalam tradisi Mreteka Merana dan melihat hubungannya dengan aspek lingkungan, sosial, dan ekonominya.


HASIL DAN PEMBAHASAN

        Upacara Ngaben bikul digelar ketika wabah tikus menyerang sawah-sawah petani. Tikus-tikus diburu dengan berbagai cara seperti mengasapi lubang persembunyiannya, mengejar ramai-ramai, membabat semak-semak, melempari dengan batu, menembaki dengan ketapel. Ratusan ekor tikus berhasil ditangkap hidup atau mati. Layaknya ngaben manusia, ngaben bikul pun melalui urutan-urutan upacara yang ketat. Ngaben tidak digelar di kuburan, tetapi di pantai karena laut dianggap sebagai sumber hama yang menyerang tanaman petani. Setelah upacara pembakaran selesai dilanjutkan dengan upacara nganyut (membuang abu) ke laut (Wiratha, 2010).
Ngaben bikul telah ada berabad-abad lalu ketika Bali masih mengalami jaman kerajaan. Ngaben bikul adalah warisan kebudayaan agraris yang pernah ada di Bali, dan bertahan terus hingga sekarang. Menurut kepercayaan orang Bali, tikus yang menyerang tanaman padi di sawah atau isi lumbung di rumah tidak boleh dicaci maki dengan kasar. Semakin tikus dicaci maki mereka akan semakin merajalela. Sebenarnya mitos-mitos seperti  ini juga mengandung filosofi yang jika dicermati akan menjadi suatu pemikiran yang sesuai dengan logika, tikus tidak boleh dicaci maki tentu saja dasar pemikirannya adalah manusia dengan tikus sama-sama mahluk hidup yang membutuhkan makanan dan tempat tinggal sehingga tidak salah jika tikus mencari makanan pada tempat tinggal manusia untuk meneruskan kehidupannya. Filosofi lainnya adalah semakin kita kasar terhadap mahluk hidup lainnya maka akan ada timbal balik dari mahluk hidup tersebut untuk mengganggu kehidupan manusia, hal ini tentu sangat relevan dengan konsep Hindu yaitu Tri Hita Karana.
Demikian pula pada pelaksanaan tradisi Mreteka Merana yaitu Ngaben bikul mengandung nilai kearifan lokal dan juga nilai filosofi yang menyangkut aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia. Yang pertama dapat kita lihat dari aspek lingkungan, pelaksanaan Ngaben bikul ini berdasarkan pandangan masyarakat Bali bertujuan untuk membersihkan hama tanaman dan juga menghilangkan pengaruh-pengaruh buruk dari aspek niskala, apabila kita cermati lebih jauh tradisi ini tentunya sangat membantu dalam hal menjaga keseimbangan ekosistem persawahan, apabila hama tikus tidak dimusnahkan maka akan berakibat buruk terhadap tanaman padi, sehingga populasi tikus bertambah dan populasi tanaman padi semakin berkurang. Selain itu pertanian yang cenderung mengarah ke proses moderenisasi seperti penggunaan pestisida, padahal penggunaan pestisida untuk menanggulangi hama seperti tikus sangat berbahaya. Karena selain mencemari lingkungan juga dapat menjadi residu yang dapat membahayakan petani itu sendiri. Maka tradisi ini merupakan salah satu solusi mencegah hama tikus tanpa harus merusak lingkungan dan sekaligus tetap menjaga tradisi leluhur masyarakat Bali.
Jika ditinjau dari aspek sosial tradisi Ngaben bikul ini dapat meningkatkan hubungan antara masyarakat yang berada di sekitar areal persawahan, misalnya dapat dilihat dari sebelum upacara dilaksanakan masyarakat secara bersama-sama memburu tikus-tikus di sekitar persawahan mereka, kemudian secara bergotong royong membuat bade dan sarana upacara lainnya. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat karena antara masyarakat satu dengan lainnya terjadi interaksi yang lebih dari kehidupan sehari-harinya akibat dari pelaksanaan upacara Ngaben bikul ini. Selain itu masyarakat yang masih melaksanakan tradisi ini tentu akan mengikutsertakan generasi-generasi penerus mereka untuk ikut berpartisipasi dalam upakara ini. Sehingga nantinya tradisi ini dapat diteruskan secara turun temurun.
Selain aspek-aspek tersebut, aspek yang juga sangat dipengaruhi dalam upacara ini tentunya dari segi ekonomi, masyarakat yang melaksanakan upacara ngaben bikul ini tentu saja masyarakat yang berprofesi sebagai petani yang memprioritaskan panen padi sebagai sumber penghasilan, jika upacara ini tidak dilaksanakan maka hama tikus akan menyerang banyak tanaman padi sehingga para petani akan mengalami kerugian yang mengakibatkan perekonomian mereka menjadi tidak stabil, sebaliknya dengan pelaksanaan upacara ini hama tikus yang selalu meresahkan masyarakat dapat diatasi sehingga tanaman padi mereka juga akan tumbuh baik dan perekonomian petani akan menjadi stabil. Selain itu keberadaan tradisi ini juga tentu sangat menarik perhatian wisatawan baik domestik maupun mancanegara sehingga dapat dimanfaatkan bagi masyarakat sekitar untuk meningkatkan perekonomian baik pribadi maupun perekonomian daerah.
Ditinjau dari ketiga aspek tersebut tentu saja upacara ngaben bikul ini sangat bermanfaat dan memiliki pengaruh yang positif baik bagi lingkungan maupun masyarakatnya. Oleh karena itu eksistensi upacara ini harus lebih dijaga dan dikembangkan agar lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.


KESIMPULAN DAN SARAN

Tradisi Mreteka Merana yaitu Ngaben bikul mengandung nilai kearifan lokal dan juga nilai filosofi yang menyangkut aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia. Yang pertama dapat kita lihat dari aspek lingkungan tradisi ini tentunya sangat membantu dalam hal menjaga keseimbangan ekosistem persawahan dan juga dapat mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya seperti pestisida untuk menanggulangi hama khususnya hama tikus. Jika ditinjau dari aspek sosial tradisi Ngaben bikul ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat karena antara masyarakat satu dengan lainnya terjadi interaksi yang lebih dari kehidupan sehari-harinya dan juga masyarakat dapat secara tidak langsung memperkenalkan tradisi ini kepada generasi penerus dengan mengajak mereka berpartisipasi dalam upacara ini. Dari segi ekonomi, pelaksanaan upacara ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat yg bekerja sebagai petani karena dengan dibasminya hama tikus maka hasil panen pun akan semakin meningkat dan kualitasnya baik, selain itu keunikan dari tradisi ini tentu dapat menarik minat para wisatawan untuk berkunjung dan melihat secara langsung upacara ini sehingga dapat dijadikan suatu terobosan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Oleh karena manfaat yang diberikan upacara ini maka sebagai masyarakat Bali kita perlu ikut berpartisipasi dalam menjaga keeksistensian dari upacara ngaben bikul ini. Agar nantinya kebudayaan agraris masyarakat Bali ini dapat terus dilaksanakan dan tidak menjadi sebuah sejarah yang hanya diperbincangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Arcana, Putu Fajar. 2007. Surat Merah untuk Bali. Tersedia pada http://books.google.co.id. Diakses tanggal 12 Januari 2012
Dwipayana, Indra. 2010. Tradisi Aneh di Bali (Ngaben Tikus). Tersedia pada www.dex-indra.blogspot.com. Diakses tanggal 2 November 2011.
Martawan, I Nyoman. 2008. Ngaben Tikus di Seseh. Tersedia pada www.potretbali.blogspot.com. Diakses tanggal 2 November 2011.
Wiratha, I Gusti Nyoman. 2010. Upacara Mreteka Merana/Ngaben Tikus. Tersedia pada www.tabanankab.go.id. Diakses tanggal 30 Oktober 2011.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar